Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 33]
Sabtu, 3 Februari 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada hamba dan utusan-Nya yang diutus untuk segenap insan. Amma ba’du.

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, telah kita lalui pembahasan tentang keutamaan bagi orang yang merealisasikan tauhid bahwa mereka akan masuk surga tanpa hisab dan tanpa azab. Perealisasian tauhid itu maknanya adalah membersihkan diri dari syirik, bid’ah, dan maksiat.

Syirik adalah menyamakan antara selain Allah dengan Allah dalam hal-hal yang menjadi kekhususan-Nya. Kekhususan Allah itu terbagi dalam tiga bagian; dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat. Kekhususan Allah dalam hal rububiyah maksudnya keyakinan bahwa Allah sebagai satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan, yang memberikan rizki dan yang mengabulkan doa. Kekhususan Allah dalam hal uluhiyah maksudnya adalah keyakinan bahwa hanya Allah sesembahan yang benar sedangkan segala sesuatu yang disembah selain Allah adalah batil. Adapun kekhususan dalam hal asma’ wa shifat maksudnya adalah keyakinan bahwa Allah memiliki nama-nama dan sifat yang maha sempurna dan tidak ditandingi oleh siapa pun juga. Hal ini menunjukkan kepada kita bahwa untuk merealisasikan tauhid seorang muslim juga harus mengenali hakikat dan macam-macam syirik serta bahayanya.

Oleh sebab itulah pada bab selanjutnya dalam Kitab Tauhid Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah membawakan pembahasan tentang takut terhadap syirik. Beliau menyebutkan firman Allah (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan masih mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisaa’ : 48 dan 116). 

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah tidak mengampuni hamba yang meninggal dalam keadaan berbuat syirik kepada Allah dalam rangka memberikan peringatan kepada kita, dan ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan syirik bagi orang-orang yang dikehendaki Allah sebagai bentuk anugerah dan kebaikan dari Allah serta agar kita tidak berputus asa dari rahmat Allah (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 43)

Ayat ini juga menunjukkan bahwa syirik merupakan dosa besar yang paling besar karena orang yang meninggal dengan membawa dosa syirik tidak diberi ampunan oleh Allah; maka hal ini memberikan faidah rasa takut yang sangat besar pada diri setiap hamba kalau-kalau dia terjerumus di dalam dosa yang sedemikian mengerikan ini (lihat al-Mulakhash, hal. 43)

Syirik adalah dosa besar yang paling besar. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?”. Maka beliau menjawab, “Engkau menjadikan sekutu bagi Allah padahal Dialah yang telah menciptakanmu.” Abdullah berkata, “Kukatakan kepadanya; Sesungguhnya itu benar-benar dosa yang sangat besar.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Kamu membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Abdullah berkata, “Aku katakan; Kemudian dosa apa sesudah itu?”. Maka beliau menjawab, “Kamu berzina dengan istri tetanggamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Beliau juga membawakan firman Allah yang menceritakan doa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang menunjukkan betapa besar rasa takutnya terhadap syirik. Allah berfirman (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berdoa ‘Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini -Mekkah- sebagai negeri yang aman, dan jauhkanlah aku serta anak keturunanku dari menyembah patung.’.” (Ibrahim : 35)

Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar’awi hafizhahullah menjelaskan bahwa kedua ayat di atas menunjukkan wajibnya kita untuk merasa takut terhadap syirik dan waspada darinya. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam saja dengan iman beliau yang sangat kuat merasa khawatir apabila diri dan keturunannya melakukan syirik, maka tentu saja kita lebih layak untuk merasa takut darinya (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 55-57)

Ibrahim at-Taimi rahimahullah -seorang ulama ahli ibadah dan zuhud yang meninggal di dalam penjara al-Hajjaj pada tahun 92 H- mengatakan, “Maka, siapakah yang bisa merasa dirinya aman dari musibah ini [syirik] setelah Ibrahim –‘alaihis salam-?” (lihat Qurrat ‘Uyun al-Muwahhidin karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan, hal. 32)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “Apabila Ibrahim ‘alaihis salam; orang yang telah merealisasikan tauhid dengan benar dan mendapatkan pujian sebagaimana yang telah disifatkan Allah, bahkan beliau pula yang menghancurkan berhala-berhala dengan tangannya, sedemikian merasa takut terhadap bencana (syirik) yang timbul karenanya (berhala). Lantas siapakah orang sesudah beliau yang bisa merasa aman dari bencana itu?!” (lihat at-Tamhid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 50)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Ibrahim ‘alaihis salam bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahman dan imamnya orang-orang yang hanif/bertauhid. Lalu bagaimana menurutmu dengan orang seperti kita ini?! Maka janganlah kamu merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa dirimu terbebas dari kemunafikan. Sebab tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik. Dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/72])

Syaikh Shalih as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik ada yang akbar dan ada yang ashghar. Ada syirik yang samar dan ada pula syirik yang jelas. Ada syirik yang tampak secara lahir dan ada syirik yang bersifat batin atau tersembunyi. Syirik bisa dalam hal rububiyah dan bisa juga dalam hal uluhiyah. Dan bisa juga terjadi dalam perkara asma’ wa shifat. Ia lebih samar daripada bekas rayapan semut dalam kegelapan malam, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits sahih. Oleh sebab itu kita wajib waspada darinya. Apabila Ibrahim ‘alaihis salam Kekasih Allah merasa takut terhadap syirik, maka siapakah yang bisa merasa aman dari petaka itu setelah Ibrahim ‘alaihis salam. Allah berfirman (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berdoa; Wahai Rabbku, jadikanlah negeri ini negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak keturunanku dari menyembah patung.” (Ibrahim : 35).” (lihat Syarh Qawa’id Arba’ Syaikh as-Suhaimi, hal. 5-6)

Syaikh Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah berkata, “Syirik adalah perkara yang semestinya paling dikhawatirkan menimpa pada seorang hamba. Karena sebagian bentuk syirik itu adalah berupa amalan-amalan hati, yang tidak bisa diketahui oleh setiap orang. Tidak ada yang mengetahui secara persis akan hal itu kecuali Allah semata. Sebagian syirik itu muncul di dalam hati. Bisa berupa rasa takut, atau rasa harap. Atau berupa inabah/taubat kepada selain Allah jalla wa ‘ala. Atau terkadang berupa tawakal kepada selain Allah. Atau mungkin dalam bentuk ketergantungan hati kepada selain Allah. Atau karena amal-amal yang dilakukannya termasuk dalam kemunafikan atau riya’. Ini semuanya tidak bisa diketahui secara persis kecuali oleh Allah semata. Oleh sebab itu rasa takut terhadapnya harus lebih besar daripada dosa-dosa yang lainnya…” (lihat Transkrip ceramah Syarh al-Qawa’id al-Arba’ 1425 H oleh beliau, hal. 6)

Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka. Dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun.” (al-Maa’idah : 72)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik berada di dalam neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (al-Bayyinah : 6)

Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pasti lenyap seluruh amalmu, dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Wajib untuk mempelajari tauhid dan mengenalinya sehingga seorang insan bisa berada di atas ilmu yang nyata. Apabila dia mengenali tauhid maka dia juga harus mengenali syirik apakah syirik itu; yaitu dalam rangka menjauhinya. Sebab bagaimana mungkin dia menjauhinya apabila dia tidak mengetahuinya. Karena sesungguhnya jika orang itu tidak mengenalinya -syirik- maka sangat dikhawatirkan dia akan terjerumus di dalamnya dalam keadaan dia tidak menyadari…” (lihat at-Tauhid, ya ‘Ibaadallah, hal. 27)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka tidak akan bisa mengenali nilai kesehatan kecuali orang yang sudah merasakan sakit. Tidak akan bisa mengenali nilai cahaya kecuali orang yang berada dalam kegelapan. Tidak mengenali nilai penting air kecuali orang yang merasakan kehausan. Dan demikianlah adanya. Tidak akan bisa mengenali nilai makanan kecuali orang yang mengalami kelaparan. Tidak bisa mengenali nilai keamanan kecuali orang yang tercekam dalam ketakutan. Apabila demikian maka tidaklah bisa mengenali nilai penting tauhid, keutamaan tauhid dan perealisasian tauhid kecuali orang yang mengenali syirik dan perkara-perkara jahiliyah supaya dia bisa menjauhinya dan menjaga dirinya agar tetap berada di atas tauhid…” (lihat I’anatul Mustafid bi Syarh Kitab at-Tauhid, 1/127-128) 

Syirik merupakan keharaman yang paling besar, perkara terlarang yang paling besar, kemungkaran yang paling berat, dan dosa besar yang paling besar. Oleh sebab itu syirik kepada Allah merupakan dosa yang paling membahayakan. Syirik inilah kemaksiatan terbesar yang dilakukan oleh umat manusia/bangsa jin kepada Allah dalam bentuk menujukan ibadah kepada selain Allah di samping ibadah mereka kepada Allah (lihat I’anatul Mustafid, 1/41)

Larangan berbuat syirik ini mencakup syirik akbar dan syirik ashghar. Tidak ada syirik yang bisa ditolerir. Demikian pula larangan berbuat syirik ini bersifat umum meliputi segala bentuk sesembahan selain Allah; apakah ia berupa malaikat, nabi, orang salih, benda mati, pohon, batu, kuburan, dsb. Apa pun selain Allah maka tidak boleh disembah. Dan apa pun bentuk ibadahnya maka tidak boleh ditujukan kepada selain Allah (lihat I’anatul Mustafid, 1/42)

Di dalam kata ‘syirik’ terdapat pelajaran bahwasanya kaum musyrikin juga beribadah kepada Allah. Hanya saja mereka juga menyembah kepada selain Allah, berupa berhala, orang salih, patung, dsb. Oleh sebab itu dakwah ini ditujukan supaya manusia meninggalkan ibadah kepada selain Allah dan mengesakan Allah dalam beribadah. Kaum musyrikin dahulu juga berhaji,bersedekah dan melakukan berbagai ketaatan. Akan tetapi itu semua tidak bermanfaat karena disertai dengan ibadah kepada selain Allah (lihat al-Fawa’id al-‘Ilmiyah min ad-Durus al-Baziyah, 2/127)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Lawan dari tauhid adalah syirik kepada Allah ‘azza wa jalla. Maka tauhid itu adalah mengesakan Allah dalam beribadah. Adapun syirik adalah memalingkan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah ‘azza wa jalla, seperti menyembelih, bernadzar, berdoa, istighatsah, dan jenis-jenis ibadah yang lainnya. Inilah yang disebut dengan syirik. Syirik yang dimaksud di sini adalah syirik dalam hal uluhiyah, adapun syirik dalam hal rububiyah secara umum hal ini tidak ada/tidak terjadi.” (lihat Syarh Ushul Sittah, hal. 11)

Demikian sedikit catatan yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini dengan taufik dari Allah semata. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Penyusun : www.al-mubarok.com

 

 

 

 

 

 


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-33/